SENI DI KACAMATA KAYU

InstaSize_2015_5 _ 208660

Bagi orang yang memiliki gangguan penglihatan, kacamata merupakan alat bantu yang umum digunakan untuk membantu menajamkan penglihatan mereka. Sementara bagi orang yang memiliki mata sehat, kacamata (berlensa netral) merupakan salah satu aksesoris yang penting untuk mendukung panampilan dan menambah kepercayaan diri.

Kebutuhan masyarakat akan kacamata ini ditangkap sebagai peluang usaha oleh dua pemuda asal Solo, Yogie Irawan Cendana dan Mahendra Agung Saputra. Keduanya kemudian merintis usaha pembuatan eyewear ini. Di tengah banyaknya industri yang memproduksi kacamata dengan bahan serta model yang sangat  beragam, keduanya memilih untuk memproduksi kacamata dengan bahan yang unik, yakni berbahan kayu pada bingkai (frame) dan gagangnya. Untuk mendapatkan posisi di pasar, segmen yang dibidik pun ditetapkan, yakni anak muda serta orang yang menyukai seni. Ini cukup beralasan karena kacamata kayu cukup nyentrik dengan teksturnya yang alami.

Usaha ini dirintis sejak tahun 2012 dan kini masih eksis. Berawal ketika dua sahabat ini mengobrol tentang keinginan untuk memulai sebuah usaha yang prospektif sekaligus dapat menyalurkan bakat seni mereka. Tak lama kemudian mereka memutuskan untuk memulai usaha kacamata kayu ini.

Mengawali usaha, keduanya melakukan persiapan yang meliputi eksperimen bahan, pemilihan sumber daya manusia dan alat produksi, serta pendataan networking untuk memasarkan produk mereka nantinya.

Saat melakukan eskperimen bahan, mereka sudah menentukan beberapa jenis kayu yang paling mungkin untuk dijadikan bahan dasar. Dari beberapa jenis kayu tersebut akhirnya mereka menetapkan kayu sonokeling. Karakter kayu ini antara lain memiliki warna gelap, serat yang bagus untuk diekspose dan memiliki kekuatan yang baik sehingga kokoh untuk bingkai dan gagang kacamata yang memiliki brand Eastwood ini.

Selain itu, pasokan dan kontinyuitas bahan ini juga bisa diandalkan. Bahkan keduanya tak perlu repot-repot membeli sendiri kayu gelondongan untuk dibelah dan dipotong. Mereka cukup memanfaatkan sisa produksi atau sortiran dari industri mebel dan gitar di wilayah Baki, Sukoharjo. Bisa dikatakan bahan kacamata Eastwood ini merupakan limbah kayu berupa potongan papan tipis yang kemudian dimanfaatkan kembali.

Selain kayu sonokeling, Eastwood juga menggunakan bahan dari kayu mahoni dan maple namun jumlahnya tidak sebanyak sonokeling.

Selanjutnya, dari segi sumber daya manusia, Mahendra Agung Saputra yang akrab disapa Putra mengatakan, Eastwood tidak membutuhkan karyawan yang memiliki skill khusus di bidang pertukangan. “Yang penting mereka punya kemauan bekerja mereka akan dibina sesuai bidang pekerjaanya,” ujarnya saat dijumpai di workshop-nya di Ngringo, Jaten, Karanganyar, (4/5/2015).

Warga Banyuagung, Banjarsari, Solo ini menambahkan, dari segi alat, produksi Eastwood juga tidak membutuhkan mesin yang rumit. Cukup beberapa dinamo untuk pengampelasan dan beberapa alat lain yang tergolong sederhana. Untuk urusan pemotongan lembaran kayu menjadi  bentuk frame dan gagang yang membutuhkan presisi tinggi dilakukan dengan mesin laser cutting milik penyedia jasa (pihak ketiga) di wilayah Sukoharjo. Demikian pula grafir tulisan brand Eastwood di gagang dikerjakan oleh penyedia jasa yang sama. Untuk pasokan sekaligus pemasangan kaca juga dipasrahkan kepada penyedia jasa pelensaan di daerah Dawung, Baki, Sukoharjo dan untuk engsel dipasok dari seseorang di kawasan Ngarsopuro, Solo.

Dalam kesempatan yang sama Yogie Irawan Cendana mengatakan, lokasi produksi Eastwood berada di Ngringo, Jaten, Karanganyar.  Pekerjaan utama di workshop yang dihuni tujuh orang karyawan ini adalah assembling dan finishing. Kayu yang sudah dibentuk menjadi frame dan gagang dengan laser cutting kemudian dipres dan dipanggang untuk memperoleh bentuk yang indah. “Proses selanjutnya setelah bahan dibentuk adalah penghalusan, perakitan, dan finishing. Sebelum dikemas dan dilepas ke konsumen, kacamata kayu Eastwood juga sudah melalui proses quality control oleh kami sendiri,” kata lulusan Desain Interior FSSR Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini.

Sementara itu, baik Putra maupun Yogie menyimpulkan untuk membangun sebuah usaha tidak perlu semuanya dilakukan sendiri. Banyak penyedia jasa yang dapat dijadikan mitra untuk mempermudah usaha mereka.